Entah siapa yang memulai menanamkan, tetapi image Kudus lekat sekali dengan kota Pantura yang panas dan berdebu. Gersang dan kering. Saking lekatnya, aku pun pernah berdoa untuk tidak mendapatkan jodoh orang Kudus wkwk parah emang!
Tentang apa yang terjadi pada diri kita esok, kita tak akan pernah benar-benar tahu, kan?
Pagi itu, aku masih bermanja meminta untuk dibawa ke gunung oleh suamiku. Setelah mengantar anak-anak ke sekolah, aku meminta suamiku membawaku menikmati udara segar di Rahtawu, salah satu daerah di Kudus yang masih asri dan menenangkan. Di suatu desa yang letaknya 45-60 menit dari kota yang jalanannya masih banyak yang tak rata.
Hari masih pagi dan kami masih menikmati hari-hari bersama. Kami menuju Joglo Dopang di kawasan Rahtawu yang ternyata tutup dan melanjutkan perjalanan ke kafe Seribu Batu Semliro. Sebuah kafe di atas gunung yang punya pemandangan menakjubkan dan tak ternilai.
Di kafe ini, awalnya hanya ada kami berdua. Kami memesan kopi arabica dan robusta, indomie goreng dan bakso goreng. Di bawah pohon yang rindang, kami duduk berbincang dan menertawakan hidup kami yang selalu ada saja hal menarik di dalamnya. Alhamdulillah.
Sepulang dari Seribu Batu Semliro, kami masih mencari bubuk kopi untuk dibawa pulang. Sambil berbincang ke petani kopi yang sedang menjemur biji kopi di halaman, kami tak menemukan satu dua bungkus kopi untuk dibawa pulang. Namun, setelah turun beberapa puluh meter, kami akhirnya menemukan penjual kopi rahtawu yang menyediakan bubuk kopi dalam gramasi yang bermacam-macam.
100 gram, 250 gram, 500 gram dan 1 kilogram.
Mulai dari light roast, medium roast hingga dark roast semauanya ada di warung kecil ini. Aku membawa pulang kopi dark roast 250 gram untuk menikmatinya di rumah karna aku memang sesuka itu dengan aroma dan rasa kopi yang bahkan rasanya tak tertelan untuk beberapa orang karena terlalu pahit.
Sepulangnya dari Rahtawu, perasaan senang dan bahagia masih lekat. Rasa dari segelas kafein pun masih terasa jelas di sela-sela lidah. Sampai hari Minggu pagi tiba, kami masih berdua berjalan-jalan di kawasan taman Oasis dekat rumah kami.
Sesampainya di Rumah, Tiba-tiba Kepala Berputar tak Karuan
Saat naik motor akan pulang, tiba-tiba kepalaku rasanya berputar. Mungkin, aku terlalu lelah karena rute jalan baruku bersama suamiku. Kami masih sempat makan lentog, meski rasanya ingin sekali terkapar. Setelah itu kami pulang dan aku masih sempat memasak dan menyuapi anak-anak sarapan.
Lalu,
"mas, aku izin istirahat sebentar, ya. Kepalaku rasanya berputar."
Waktu baru menunjukkan pukul 10. Aku mendadak ingin memejamkan mata karena tak kuat dengan tubuhku yang mulai menggigil. Aku terpejam tak berdaya sembari anak-anak menonton TV di akhir minggu. Aku tertatih untuk bangun dan ternyata setelah dicek, demamku 39.3 derajat. Kepalaku yang awalnya hanya pusing dan sedikit berputar, justru terasa semakin hebat dan tak tertahankan.
Janji Bersama Kawan pun Dibatalkan
Hari ahad itu, kami sudah ada janji temu dengan teman-teman kami di kafe untuk sekadar life update. Tapi hingga ashar tiba, kondisiku tak kunjung membaik dan justru semakin parah. Rasa-rasanya badanku justru terasa melayang dan entah susah didefinisikan. Terasa menggigil dan sakit di tulang dan aku merasa sangat tak sehat.
Aku sudah siap, suami siap dan anak-anak pun sudah siap. Kami hampir menuju kafe, tetapi anak-anak meminta untuk diajak ke warung soto dulu karena mereka belum sempat makan siang. Kami pun akhirnya ke warung soto dan aku yang tak kuat meminta untuk pulang segera karena sepanjang perjalanan kami menggigil hebat.
Selama di jalan, aku hanya bisa memejamkan mata dan menahan agar tubuhku tak menggigil dan semakin parah. Suamiku telah memintaku untuk bersegera ke rumah sakit, tetapi aku menolak karena pasti akan berantakan jika memang benar aku harus dirawat ke IGD.
Sore itu, aku hanya bisa memejam dan kuminta suamiku membatalkan janji temu bersaama teman-teman. Suamiku mulai khawatir karena demamku yang tak kunjung turun dan aku yang tak terlihat membaik. Kemudian suamiku pun membekamku dengan harapan aku bisa membaik setelah dibekam.
Qadarullah wamaa sya'afa'ala...
Bekam telah selesai, tapi kepalaku rasanya masih berputar hebat dan akupun masih lemas bukan main. Aku masih belum bisa beranjak dari kasur selain untuk solat saja. Hingga malam tiba, suamiku mencarikanku obat dan makan untuk anak-anak sedangkan aku masih tak berdaya.
Akhirnya, IGD Menyambutku
Long short story, aku yang masih bergelut dengan anakku yang sedang mimisan harus terus berusaha kuat bolak-balik rumah sakit untuk memastikan kondisi anakku baik-baik saja. Hingga akhirnya di hari Rabu, setelah aku sok kuat dengan kondisi badan yang hanya bisa terkapar itu, aku memutuskan untuk ke rumah sakit dan langsung menuju IGD.
Selasa malam, aku sudah mencoba ke IGD, tetapi kondisi IGD yang penuh sungguh membuatku ingin berusaha tetap kuat saja. Namun, apa daya ternyata rasanya antara hidup dan mati. Rabu, aku menuju RS Sarkies dan penuh, lalu ke RS Loekmono Hadi dan penuh juga. Akhirnya kami pasrah dan menuju RS Kartika Husada dan hanya kamar kelas 3 tersedia di sana.
Aku yang sudah pasrah akhirnya terbaring di kamar IGD. Suntikan infus dan jarum yang digunakan untuk mengambil darah sampel laboratorium pun tak terasa menyakitkan. Demamku yang stabil di 39 derajat lebih itu jauh lebih menyakitkan saat itu. Dokter IGD pun terheran melihat kondisiku yang seperti telat dibawa ke rumah sakit.
Dokter kira, aku hanya demam. Tapi ternyata, cukup kompleks. Demam yang tinggi, tubuh yang terasa melayang dan menggigil, batuk yang menggigil, napas yang tersengal-engal, perut yang terasa sakit di area lambung dan hati.
Paracetamol dan antibiotik dimasukkan ke tubuhku melalui cairan infus. Perlahan-lahan, demamku turun dan rasa menggigil di tubuhku mulai pudar. Aku mulai didorong di kursi roda dan dipindahkan ke kemar kelas nomor 3.
Aku akhirnya bisa terbaring dengan tenang, meski di kepala yang terpikirkan hanya anak-anak di rumah----yang satu sedang sakit dan yang satunya tipe yang harus dekat dengan orang tuanya. Selama terbaring, aku hanya merenungi mengapa hari ini bisa terjadi. Rasa-rasanya seperti tak mungkin seorang Septi yang terbiasa dengan jam kejar tayangnya terbaring lemah di rumah sakit.
Pasrah dengan Jarum-Jarum Suntik
Di IGD, aku pasrah. Jarum-jarum suntik tak terasa lebih menyakitkan daripada demam dan ngilu di sekujur tubuhku. Aku dengan pandangan yang kabur hanya bisa bersyukur akhirnya ada paracetamol cair yang segera membuat suhu tubuhku turun perlahan dan mengusir dingin yang membuatku menggigil tak karuan.
Setelah dicek oleh dokter IGD, aku dipindahkan ke kamar kelas 3 yang tersedia saking penuhnya kamar di rumah sakit. Aku lalu didorong dengan kursi roda dan diantarkan ke tempat tidurku. Masih nge-fly dan terasa aneh karena ada di rumah sakit. Tapi ternyata, aku beneran sakit hahahahha ~
Hari itu, perawat bolak balik menyuntikkan infus dan paracetamol berkala seolah aku benar-benar butuh penanganan penting. Masih nge-lag, sampai akhirnya dokter IGD bilang bahwa aku terlalu banyak menelan obat dan membuat hatiku sakit. Literally.
Bagimana ya rasanya tinggal di rumah yang hijau dan penuh dengan oksigen? Gimana kalau di rumah ada suara gemericik air kolam yang bisa menambah suasana rumah jadi makin syahdu?
Kapan terakhir kali kamu punya mimpi untuk dirimu sendiri?
Aku adalah satu dari sekian banyak orang yang selalu percaya dengan mudahnya bagi Allah untuk membolak-balikkan masa depan selama kita percaya dengan takdir Allah yang Maha Baik.
Membayangkan sebelum Memiliki
Sebelum akhirnya kami memiliki rumah kami sendiri, kami seringkali bertukar pikiran, akan seperti apa rumah kecil kita nanti? Akan seluas apa dan akan kita isi dengan apa?
Kami berbincang tentang rumah kami, sambil melihat beberapa rumah sketsa di setiap perjalanan kami dan mengabadikannya dalam ingatan kami masing-masing. Sesampainya di Pondok Indah Mertua, kami saling bertukar pikiran dan mengeluarkan denah rumah kami masing-masing.
"Nanti, ada taman di depan ya biar ada jarak antara pintu dan pagar. Jaga-jaga kalau ada tamu tuh nggak langsung di depan pintu"
"Nanti, ada musola ya di rumah. Jadi kalau masu solat nggak di kamar gitu."
"Nanti, ada space buat berkebun ya. Kecil aja nggak papa, yang penting ada ruang buat berkebun."
Setidaknya ini menjadi acuan kami untuk menentukan denah rumah masa depan kami kala itu. Dan sebagai istri seorang ilustrator, aku pernah berharap suatu hari denah rumahku digambar sendiri oleh suamiku dan biidznillah suamiku yang menggambar rumah kami sekarang di kertas dan membuatnya detail di ipad.
Kemudian, kami meminta bantuan drafter untuk membantu visualisasi 3D alias mockup rumah kami. Dan setelah beberapa revisi, akhirnya kami setuju untuk membuat rumah kami secara bertahap.
Pelan, Tapi Pasti
Rumah kami berawal dari tanah kosong biasa. Prosesnya pun terbilang butuh waktu yang lama. Sembari masih tinggal di rumah ibu kami (kadang di Semarang, kadang di Kudus), kami mulai mencicil material rumah yang bisa kami tempatkan dulu di tanah kosong di Kudus. Batu bata, pasir, semen, roster dan segala perintilannya mulai kami cicil. Allahumaa Baarik ~
Perlahan, tapi pasti. Kami adalah penganut rumah tanpa cicilan. Dengan berbekal bismillah, kami lebih memilih untuk membangun rumah from strech daripada beli jadi. Selain karna duitnya nggak ada, kami lebih pengen bisa bikin rumah yang bisa dicustom sesuai dengan mau kami heheh ~
Rumah yang penuh dengan pepohonan hijau rindang yang ketika panas tetap sejuk, dan ketika hujan semakin syahdu. Rumah yang bisa jadi tempat pulang karena setiap sudutnya yang pantas untuk kita rindukan.
Akhirnya, Kelana di Semesta pun Berdiri
Atas izin Allah, rumah kami pun jadi. Setelah proses panjang, setelah biaya yang tidak sedikit, setelah tangis di setiap perjalanannya. Kok nangis? Iyaaa, ujian bikin rumah tuh ternyata nggak gampang. Bener-bener bikin ngikngik setiap perjalanannya. Adaaaa aja ujiannya.
Dan kami menyadari bahwa pernikahan ujiannya nggak akan selesai hanya karena punya pekerjaan tetap atau punya anak. Banyakkkk sekali ujian di setiap episode kehidupan yang nggak bisa kita hindari. Salah satunya yaaa ujian bikin rumah ini hehehe Allahumma Baarik ~
Akhirnya, rumah kami dengan halaman depan, halaman samping, musola dan kebun rooftop pun jadi. Rumah yang halaman depannya berisikan kolam ikan kecil yang gemericik airnya menambah kesyahduan rumah kami, rumah yang punya halaman samping agar tidak semua lewat ruang utama terlebih jika ada keperluan atau ada acara,
rumah yang kebun sampingnya bisa ditanami tanaman rambat yang buahnya menjulang, rumah yang punya kebun atap kecil yang bisa kami manfaatkan untuk berkebun. Masya Allah, Maha Baik Allah kepada kami.
Menjadikan Rumah Kebun yang Produktif
Sekarang, rumah kami menjadi rumah kebun yang produktif. Rumah kebun yang selalu ada yang bisa dipanen setiap hari. Di kebun samping rumah, kami menanam empon-empon atau tanaman rempah yang tak butuh banyak matahari, pohon salam, pohon daun jeruk purut, pohon cincau dan labu butternut squash atau labu madu yang buahnya selalu ada untuk menghiasi ruang samping.
Sedangkan di kebun atap, kami menanam cabe, sawi, bayam, labu butternut squash, daun bawang, dan tanaman lain yang membuat kebun atap kami berwarna-warni dan sejuk sekali. Meski yang dipanen itu-itu saja dengan jumlah yang begitu saja, tetap saja ada yang bisa kami petik setiap hari dan kami bersyukur sekali dengan itu. Allahumma Baarik ~
Anyway, kebun rumah kami bisa diakses di @kebunkhaula, ya. Barangkali teman-teman senang berkebun dan ingin follow juga hihihi ~
Sekarang, rumah kami adalah rumah yang menjadi tempat untuk pulang dan semoga rumah kami tidak hanya memberi keberkahan bagi keluarga kami, tetapi juga rumah di sekitar kami dan orang-orang yang mampir ke tempat kami. Barakallahu fiik.
Kalau teman-teman, suka rumah dengan tipe seperti apa? Semoga Allah mudahkan teman-teman untuk punya rumah yang nyaman juga, ya ❤️
Hari-hari kerja dari kafe ke kafe membuatku selalu ingin mencari dimana tempat yang nyaman untuk bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Kafe yang tenang, tidak berisik, interior bagus, barista seru dan tentu saja kafe yang bisa membuat betah berlama-lama.
Aku lalu menyambangi satu persatu kafe di Kudus. Saking banyaknya kafe yang pernah kusambangi, aku sampai hapal dimana kafe dengan sajian beans kopi terbanyak, yang punya pasta enak, yang murah, yang nggak berisik sampai yang baristanya nggak resek kalau ternyata aku harus di kafe dari pagi sampai sore untuk meeting atau sekadar menyelesaikan deadline-ku yang menumpuk.
Dan kemarin, akhirnya aku dan suami menyambangi salah satu kafe yang sudah lama muncul di FYP TikTok kami. Kafe kebun yang terlihat sangat asri meski hanya dari potongan video pendek yang disatukan dalam filter sinematik.
Indi Coffee Shop, Kafe Kebun Kecil yang Setiap Sudutnya Bak Scene di Film Ghibli
Mendengar tentang ghibli, pasti banyak yang tidak asing karena karya film dan alur ceritanya yang apik. Bahkan setiap detail scene dalam film-nya pun sungguh rapi dan menakjubkan. Dan ketika akhirnya langkah kaki kami sampai di kafe ini, kami membayangkan bagaimana jika kelak kami bisa mengimplementasikan setiap detail yang ada pada kafe tersebut ke rumah kebun kami yang sederhana.
Tanaman yang menggantung, action figure yang berceceran, rak buku yang diisi dengan banyak bacaan kehidupan, serta mesin kopi yang baunya memenuhi ruangan setiap kali digunakan. Duh, membayangkannya saja sudah membuatku bahagia.
Setiap sudut kafe ini benar-benar estetik dan melegakan mata. Paru-paru pun rasanya bisa bernapas lega karena pasokan oksigen yang luar biasa melimpah di sini. Tanpa AC, tapi sejuk bukan main. Rasanya ingin mengadopsi interiornya di rumah kebun kami, tetapi apa daya akan banyak biaya yang harus siap kami keluarkan karena meski penampakannya sederhana, maintenance kafe ini tak main-main.
Aroma Kopi Semerbak Memenuhi Ruang Barista
Pencinta kopi bisa cukup berpuas diri ketika mampir ke sini. Mau cari cold brew, americano, kopi cokelat, kopi susu, latte, cappucino, sampai seduhan manual brew atau japanese semua ada di sini, lengkap!
Dan kamu akan sangat bersyukur bisa menikmati setiap teguk minuman atau setiap gigitan snack yang memenuhi indera pengecapmu dengan harga yang sangat murah. Kelewat murah malah menurutku. Bayangkan, untuk snacknya hanya dibanderol 8ribuan dan untuk minumannya dibanderol 10ribuan saja.
Di saat di kafe kopi lain butuh dua puluh ribuan untuk bisa mendapatkan kopi nikmat dengan interior yang kurang lebih sama----bersih, dingin dan nyaman, di sini dua puluh ribuan bisa menikmati 2 minuman atau 1 minuman dan 1 snack.
Tidak ada parkir yang dibebankan saat pulang juga menjadi salah satu kelebihan yang bisa dipertimbangkan untuk bisa menjadikan tempat ini ruang ternyaman.
Selalu Ada Kelemahan dalam Setiap Kelebihan
Tidak ada yang sempurna. Sebagaimana seharusnya, tidak mungkin ada hal yang sempurna tanpa kekurangan. Dan di sini, ada kekurangan yang cukup krusial untukku yang butuh berlama-lama untuk menyelesaikan rentetan pekerjaan.
Ya, Indi Coffee Shop beroperasi hanya pukul 11-19.00 WIB dan tutup saat Minggu. Sungguh tidak ramah untuk ibu pekerja yang masih full time momong dua anak yang berusia 4 dan 6 tahun. Pasalnya, jam buka kafe menjelang jam jemput anak dan jam tutup kafe hanya setelah maghrib.
Mau mampir setelah antar anak ke sekolah sulit, mau datang saat malam juga tidak mungkin, bukan? Begitulah hidup. Kita tidak selalu bisa mendapatkan semuanya dengan sempurna dan selalu ada fakta yang harus kita terima karena kecewa juga butuh ruang.
Menu Sederhana yang Cukup Jadi Teman Berbincang di Meja
Aku telah mencicip cold brew, puding cokleat, kopi cokelat, vietnam drip dan japanese brew daaaaannnn semuanya enaaak! Alhamdulillah. Meski hanya bisa beberapa jam saja untuk duduk singgah, tapi cukup bagi kami untuk menyegarkan mata dan otak kami yang penat akan banyak hal di kepala. Setidaknya, kami bisa menyerap energi baik dari tanaman yang ada di kafe dan melalui makanan enak yang kami nikmati.
Di sini, satu gelas tak pernah cukup. Tentu saja karena harganya murah membuatku ingin mengeksplorasi setiap rasa pada menu lain yang belum tersaji di meja. Dan meski sebentar, tempat ini selalu bisa membuatku fokus sejenak untuk mengerjakan yang perlu kukerjakan atau sekadar menulis tulisan semacam ini.
Setelah membaca semuanya, apakah kamu tertarik untuk mampir ke sini?
Lihat di Threads
Setiap kali "Enak ya, jadi kamu....." muncul, selalu ada pertanyaan yang terngiang di kepala. Apa ya yang kira-kira mereka lihat dari hidupku yang sekarang?
Tinggal di Slow Living di Desa
Sebagai ibu-ibu yang baru masuk kepala tiga, hidupku banyak berkembang. Aku tidak mengatakan ini berubah karena aku lebih suka menyebutkan berkembang. Aku yang awalnya tinggal di Ibukota Jawa Tengah dan sempat merantau ke Ibukota Indonesia, berlalu lalang loncat sana sini untuk travelling, kini menetap di satu kota kecil-Kudus.
Terlihat enak, tapi sebelum ada di titik ini, aku merasakan culture shock yang tiada habisnya. Dari Semarang ke Jakarta, beradaptasi dengan ibukota negara yang melelahkan sampai akhirnya pulang kembali ke Semarang dengan pace yang tenang, lalu harus berhenti di Kudus, kota yang entah aku tak tahu akan mendapatkan apa di sana.
Keputusan tinggal di Kudus adalah keputusan yang menyenangkan setelah dijalani. Setidaknya 2 tahun terakhir. Aku hidup slow living, sederhana, tenang dan menenangkan. Berkebun setiap pagi, meneguk kopi sambil mendengar kicauan burung di pagi hari atau sekadar berolahraga ringan sebelum sibuk di dapur menyiapkan makanan untuk suami dan anak-anak.
Ditambah lagi, sebagai ibu rumah tangga dengan 2 anak yang masih kecil, aku masih bisa bekerja remote sebagai freelancer tanpa harus pergi ke kantor. Allahumma Baarik.
Bekerja sebagai Seorang Freelancer, Menyenangkan Kah?
Jauh sebelum menjadi seorang istri dan seorang ibu, aku sudah menjadi freelancer di bidang konten dan social media. Karir ini terlihat menyenangkan, tapi orang-orang lupa menanyakan bagian mana yang paling membuat freelancer berjuang? Coba tebak, apa kira-kira?
Menjadi seorang freelancer awalnya bukan sebuah pilihan. Remaja 20 tahun itu, pernah jadi karyawan termuda di perusahaan Jakarta bermodalkan ijazah SMK. Saking tidak memungkinkannya untuk bisa bekerja di salah satu perusahaan ternama, manajer pun memberikan pesan kepadaku untuk menjaga rahasia ini karena takut karyawan lain akan iri dengan dokumen yang tidak kumiliki. Betul, ijazah S1. Wekekeke ~
Bukan sekadar ijazah, tapi pengalaman organisasi, KKN, dll membuatku tidak bisa nyambung dengan teman-temanku di kantor. Alhamdulillahnya, soal pekerjaan, bolehlah dibandingkan hehehe. Tapi kemudian, di masa muda yang masih asyik-asyiknya bekerja di ibukota, aku harus berhenti.
Berhenti dan Pulang
Ternyata, meski harus pulang ke rumah, ada rasa bahagia yang terenggut. Aku dengan kesibukanku--yang bisa membuatku lupa sejenak, ternyata hanya berlangsung sementara saja. Tapi, di situlah aku melihat peluang dan seolah Allah membukakan jalanku.
Meski harus 1 tahun mendapatkan jawaban setelah melempar ratusan cv agar bisa bekerja secara remote, masa itu datang juga. Aku mendapatkan pekerjaan secara remote dari agency di Bekasi dan kantor freelancer di Jakarta. Melalui panggilan telepon dan interview secara langsung, Allah membukakan jalanku untuk menjadi freelancer di Semarang dengan relasi pekerjaan di Jakarta.
Waaaah, enak dong bisa kerja freelance di Semarang tapi kliennya Jakarta. Pasti, gajinya tinggi, kan?
20% Bukan Rahasia Umum
Tak heran jika banyak yang mengira gajiku banyak, karena memang wang sinawang. Masa iya kerja di ibukota tapi gajinya sedikit? Padahal, tak banyak yang tahu bahwa setiap project yang didapat, aku harus rela melepaskan 20-25% dari gaji yang kami terima untuk setiap project yang kudapatkan. Karena dengan inilah, pekerjaan bisa lancar, klien happy, meski kadang aku yang ingin menangis hihihi ~
Belum lagi, untuk bisa deal 1 project saja, aku harus melawan puluhan proposal dari freelancer yang tersebar di seluruh Indonesia. Tapi, musuhku tetap freelancer di Jakarta karena mereka menang lokasi. Kok bisa? Jadi, seringkali proposal yang diajukan menarik, tapi karena lokasiku di Semarang, aku sering diremehkan dan dianggap tidak cukup capable untuk handle project Jakarta. Kebayang nggak, betapa stress-nya aku waktu diajakin tinggal di Kudus sama suami? Hihihi ~
Stress dan Khawatir Setiap Waktu
Hari-hari pitching ke klien, aku selalu membawa nama Semarang karena minder kalau bawa domisili di Kudus. Dan benar saja, aku sering ditolak karena tidak bisa hadir ke lokasi pitching atau sekadar meeting di awal project. Nangis nggak? Nggakkkkkkkk dong, tapi galauuuuu nggak abis-abis hihi ~
Tapi, kejadian ini justru ngajarin aku untuk lebih legowo sama takdir. Kalau aja nggak ditolak terus, aku nggak akan terus mencoba, kan? Kalau aku nggak diremehkan sama mereka, aku nggak mungkin untuk upgrade skill-ku, kan? Kalau aku nggak tinggal di kota kecil, aku nggak akan berjuang lebih keras untuk bisa battle dengan mereka yang domisilinya di Jabodetabek, kan?
Dan masa-masa itu terlewati dengan tawa, canda, sedih, duka dan kecewa. Emosi naik turun ini berhasil menemaniku setidaknya 8 tahun sejak kepulanganku dari Jakarta. Dan hingga tulisan ini kuunggah dalam blog-ku, ternyata rezekiku masih dari jalan freelancer. Alhamdulillah biidznillah ~
24/7 Stand By
Belum lagi, pekerjaan sebagai seorang freelancer menuntutu untuk bisa stand by 24 jam tanpa nanti, tanpa tapi. Laptopan sambil nongkrong di kafe? Udah biasa ~ Laptopan di mobil pas lagi otw? Sudah biasa ~ Kerja pas anak-anak tidur? Sudah biasa ~
Tidak Bisa Hanya Satu
Fakta lain yang tidak bisa ditampik adalah......... Menjadi seorang freelancer itu harus multi talenta. Harus serba bisa dan nggak bisa cuma 1 pekerjaan atau 1 spesialis saja. Setidaknya harus memiliki 2-5 keahlian agar bisa tetap stay up-to-date dengan pekerjaan yang trend 5 tahun mendatang. Apalagi, sekarang lawannya gen Z yang lebih PD untuk show-off ke publik. Kalau nggak bisa catch up dengan masa kini, sudahlah pasti karir akan tamat segera. Huhu jangan deh, ya.
Full Time Ibu Rumah Tangga dan Freelance Content Specialist
Untuk saat ini, aku teramat sangat bersyukur dengan apa yang kujalani: sebagai ibu rumah tangga yang juga bekerja sebagai seorang freelancer. Sibuk, lelah, penat, pusing, dan senang-senang saat gajian adalah nano-nano yang mewarnai hari-hariku.
Meski kadang harus bergelut dengan rentetan task yang tiba-tiba penuh padahal paginya masih santuy, aku tetap nggak boleh protes. Karena nyawa freelancer bisa berakhir saat itu juga, ketika pekerjaannya tidak sesuai dengan yang dimau oleh klien. Sekali salah, mungkin masih oke. Tapi, kalau slow respon, nggak bisa dihubungi, nggak bisa catch up dengan tren saat ini dan nggak bisa komunikasi, bye ~
Jadi gimana, menurut kamu jadi freelancer enak, nggak?
Dalam,
Dwi Septia
Sejak punya anak, tempat ngedate kami udah bukan lagi hutan pinus yang sepoi-sepoi, melainkan tempat wisata yang kids friendly yang bisa bikin anak-anak happy main dan kaminya bissa nyambi ngobrol dan ngawasin anak-anak.
Dan pas liburan kemarin, menyempatkan untuk ngajakin anak-anak main ke Pijar Park, Ini adalah kawasan wisata hutan pinus yang ada di Desa Kajar, Kecamatan Dawe, Kudus yang punya beragam fasilitas dan permainan menarik. Ada camping ground, spot foto di tengah hutan, sentra kuliner, outbound, wisata berkuda dan eduwisata lain.
Pijar yang Dulu Bukan Pijar yang Sekarang
Tahun 2020 silam, ketika anak pertama kami masih bayi, kami pernah ke Pijar untuk kali pertama. Kami main ke hutan pinus bukan untuk mengajak anak main outbound, melainkan untuk mengumpulkan materi lomba blog kala itu. Dan kali pertama ke sana, menurut kami tempat ini keren. Sayangnya, waktu itu memang belum terlalu terurus. Jadi hanya hutan pinus saja, tapi belum adda fasilitas-fasilitas lain.
Ini adalah video yang pernah kami buat di Pijar Park tahun 2020 untuk ikutan lomba blog yang kalah wkwk. Gapapa gapapa, yang penting udah berani coba. Menghibur diri wkwk ~
Waterpark di Tengah Hutan Pinus
Kebayang nggak, ngajakin anak-anak ke waterpark yang ada di tengah hutan pinus? Pasti seru, kan? Nah, di waterpark yang ada di Pijar Park ini, ada kolam renang waterpark gitu di tengah hutan pinus. Di sini, anak-anak bisa main di waterpark sambil main busa buatan.
Tiket Masuk 15.000 per Orang
Tiket masuk ke kawasan Pijark Park hanya 10.000. Tapi, untuk bisa masuk ke waterpark, harus bayar lagi 15.000 per orang. Murah, tapi mahal. Karena meskipun orang tua nggak ikut renang, tetap kena biaya. Bayangkan jika harus bawa kakek neneknya semua untuk ikutan menemani renang. Banyak, kan? Heheheh... Tapi, ya sekali-kali boleh lah yaaa mahal dikit yang penting anaknya seneng.
Mini Aviary yang Apik dan Tertata Rapi
Selain ada waterpark di tengah hutan, ada pula mini aviary yang cantik, apik dan tertata rapi di area waterpark. Area ini melingkari waterpark. Di bawah hutan pinus, ditiup angin hutan yang segar, mini aviary seolah menjadi tempat yang nyaman untuk para hewan tinggal. Di sini ada rumah kelinci dan beberapa kelinci kecil yang berlari ke sana kemari.
Turun sedikit ke bawah, ada kandang domba yang membuat anak-anak bisa melihat domba dari jarak dekat dan berinteraksi dengan mereka. Oh ya, orang tua bisa membeli makanan kelinci dan domba, seperti kangkung dan wortel untuk memberi makan domba atau kelinci tergantung keinginan mereka. Orang tua hanya tinggal mengawasi saja hihihi....
Gimana, seru banget, kan? Jadi, kalau kalian ada rencana untuk main di wilayah Kudus bisa jadikan Pijar Waterpark ini sebagai salah satu wishlist kalian, ya!!
Salam,
Dwi Septia
Apa yang terlintas kali pertama tentang kuliner saat mendengar kata Kudus? Pasti nggak jauh-jauh dari jenang, kan? Yes, jenang memang jadi ikon kuliner Kudus. Tapi, ada juga kuliner lain yang patut dicoba saat kamu berkunjung ke Kudus. Namanya adalah pecel pakis dan gethuk urap.
Asing? Tentu saja. Selama ini aku mengenal pecel sebagai kuliner yang berisikan bayam rebus, kangkung rebus, wortel rebus, tauge rebus, kembang turi dan disiram dengan sambel kacang. Peccel pakis pun, masih sama dengan sambel kacangnya. Hanya saja, isi sayurnya yang berbeda.
Seperti namanya, Pecel Pakis adalah pecel yang berisikan sayur pakis atau tanaman pakis. Ya, kalian nggak salah dengar. Sayur Pakis adalah sejenis tumbuhan paku-pakuan yang banyak dijumpai di lereng Gunung Muria tepatnya di daerah bernama Colo. Daun pakis ini biasanya tumbuh di tepi sungai atau di tebing-tebing yang lembab dan teduh.
Ini adalah tanaman pakis.
Pecel Pakis, Sajian Khas Colo Muria
Pecel pakis berisikan tanaman pakis dan tauge rebus yang disiram dengan kuah kacang halus, kental dan cenderung manis. Pecel ini bisa ditemukan di area Dawe, Kudus atau Kudus atas yang mengarah ke Gunung Muria. Udaranya yang lembab dan terletak di dataran tinggi membuat daerah ini mudah ditumbuhi oleh tanaman pakis.
Pecel pakis sendiri biasa dimakan dengan bakwan pakis, telur goreng, kerupuk gendar dan aneka toping lainnya. Tekstur kriuk dari tanaman pakis ini khas banget. Mirip kol, tapi lebih hijau. Seperti ceciwis kalau pernah makan.
Biasanya 1 porsi pecel pakis tuh disajikan bareng nasi putih atau lontong. Tapi, kalau aku biasanya nggak pakai lontong atau nasi alias pecel aja. Biar bisa tambah bakwan atau kerupuk gendar hahaha ~
Setelah Makan Pecel, Jangan Lupa Gethuk Urapnya
Di Colo, nggak hanya pecel pakis yang terkenal. Tapi, ada juga gethuk yang lembut.yang juga jadi khasnyaa warga sini. Dan lucunya, ada menu bernama Gethuk Urap. Gethuk, tapi urap. Sedangkan urap selama ini yang kutahu adalah menu makanan sayur yang dibumbui dengan kelapa parut yang sudah berbumbu.
Dan ternyata, gethuk urap ini konsepnya mirip! Gethuk ditaburi kelapa parut dan gula yang bikin gethuk gurih jadi manis dan kriuk-kriuk rassa gula pasir. Enak! Saking enaknya, rela jauh-jauh perjalanan 30 menit dari rumah ke sini hihi masya Allah ~
Harga Pecel Pakis dan Gethuk Urap
Salah satu yang bikin betah saat tinggal di Kudus adalah harga kulinernya yang ramah kantong. Meski kalau melipir ke kota juga banyak menu mahal, tapi masih banyak alternatif pangan lokal yang murah dan sehat pula, seperti pecel pakis dan gethuk urap ini.
1 porsi pecel pakis ini dibanderiol dengan harga 6ribu - 10ribuan saja. Sedangkan gethuknya hanya di 5ribuan per porsi. Murah sekali, bukan? Jadi, bawa 50ribu ke warung bisa buat makan banyaaaak porsi dan masih bisa dapat jajan, seperti gethuk urap, es campur dan jajanan lain.
Jadi, kapan kamu ke Kudus nyobain ini?
Salam,
Dwi Septia
ABOUT ME
Hi, I'm Dwi Septia. Basically i'm a writer. But, also experienced as a content writer, social media specialist, SEO content writer, and social media ads since 2016.
I've worked as a freelancer and full-time employee, but lately I've handled any job remotely from anywhere. For any opportunities, please contact me on Instagram @septsepptt or via email at septsepptt@gmail.com.
POPULAR POSTS
-
Bagimana ya rasanya tinggal di rumah yang hijau dan penuh dengan oksigen? Gimana kalau di rumah ada suara gemericik air kolam yang bisa mena...
-
Hari-hari kerja dari kafe ke kafe membuatku selalu ingin mencari dimana tempat yang nyaman untuk bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Kafe ya...
-
Tentang apa yang terjadi pada diri kita esok, kita tak akan pernah benar-benar tahu, kan? Pagi itu, aku masih bermanja meminta untuk dibawa ...
Newest Post
Menciptakan Rumah Hijau dengan Menumbuhkan Kebun di Rumah
November 17, 2025
Sejuk dan Menenangkan, Ini Potret Kafe Ghibli di Kudus
November 08, 2025

















