Yang Tak Akan Terlupakan: Pengalaman Pertama Naik Ambulance di Usia 30-an

Tentang apa yang terjadi pada diri kita esok, kita tak akan pernah benar-benar tahu, kan?

Pagi itu, aku masih bermanja meminta untuk dibawa ke gunung oleh suamiku. Setelah mengantar anak-anak ke sekolah, aku meminta suamiku membawaku menikmati udara segar di Rahtawu, salah satu daerah di Kudus yang masih asri dan menenangkan. Di suatu desa yang letaknya 45-60 menit dari kota yang jalanannya masih banyak yang tak rata.

Hari masih pagi dan kami masih menikmati hari-hari bersama. Kami menuju  Joglo Dopang di kawasan Rahtawu yang ternyata tutup dan melanjutkan perjalanan ke kafe Seribu Batu Semliro. Sebuah kafe di atas gunung yang punya pemandangan menakjubkan dan tak ternilai.

Di kafe ini, awalnya hanya ada kami berdua. Kami memesan kopi arabica dan robusta, indomie goreng dan bakso goreng. Di bawah pohon yang rindang, kami duduk berbincang dan menertawakan hidup kami yang selalu ada saja hal menarik di dalamnya. Alhamdulillah.

Sepulang dari Seribu Batu Semliro, kami masih mencari bubuk kopi untuk dibawa pulang. Sambil berbincang ke petani kopi yang sedang menjemur biji kopi di halaman, kami tak menemukan satu dua bungkus kopi untuk dibawa pulang. Namun, setelah turun beberapa puluh meter, kami akhirnya menemukan penjual kopi rahtawu yang menyediakan bubuk kopi dalam gramasi yang bermacam-macam.

100 gram, 250 gram, 500 gram dan 1 kilogram.

Mulai dari light roast, medium roast hingga dark roast semauanya ada di  warung kecil ini. Aku  membawa pulang kopi dark roast 250 gram untuk menikmatinya di rumah karna aku memang sesuka itu dengan aroma dan rasa kopi yang bahkan rasanya tak tertelan untuk beberapa orang karena terlalu pahit.

Sepulangnya dari Rahtawu, perasaan senang dan bahagia masih lekat. Rasa dari segelas kafein pun masih terasa jelas di sela-sela lidah. Sampai hari Minggu pagi tiba, kami masih berdua berjalan-jalan di kawasan taman Oasis dekat rumah kami. 

Sesampainya di Rumah, Tiba-tiba Kepala Berputar tak Karuan

Saat naik motor akan pulang, tiba-tiba kepalaku rasanya berputar. Mungkin, aku terlalu lelah karena rute jalan baruku bersama suamiku. Kami masih sempat makan lentog, meski rasanya ingin sekali terkapar. Setelah itu kami pulang dan aku masih sempat memasak dan menyuapi anak-anak sarapan.

Lalu,

"mas, aku izin istirahat sebentar, ya. Kepalaku rasanya berputar."

Waktu baru menunjukkan pukul 10. Aku mendadak ingin memejamkan mata karena tak kuat dengan tubuhku yang mulai menggigil. Aku terpejam tak berdaya sembari anak-anak menonton TV di akhir minggu. Aku tertatih untuk bangun dan ternyata setelah dicek, demamku 39.3 derajat. Kepalaku yang awalnya hanya pusing dan sedikit berputar, justru terasa semakin hebat dan tak tertahankan.

Janji Bersama Kawan pun Dibatalkan

Hari ahad itu, kami sudah ada janji temu dengan teman-teman kami di kafe untuk sekadar life update. Tapi hingga ashar tiba, kondisiku tak kunjung membaik dan justru semakin parah. Rasa-rasanya badanku justru terasa melayang dan entah susah didefinisikan. Terasa menggigil dan sakit di tulang dan aku merasa sangat tak sehat.

Aku sudah siap, suami siap dan anak-anak pun sudah siap. Kami hampir menuju kafe, tetapi anak-anak meminta untuk diajak ke warung soto dulu karena mereka belum sempat makan siang. Kami pun akhirnya ke warung soto dan aku yang tak kuat meminta untuk pulang segera karena sepanjang perjalanan kami menggigil hebat.

Selama di jalan, aku hanya bisa  memejamkan mata dan menahan agar tubuhku tak menggigil dan semakin parah. Suamiku telah memintaku untuk bersegera ke rumah sakit, tetapi aku menolak karena pasti akan berantakan jika memang benar aku harus dirawat ke IGD.

Sore itu, aku hanya bisa memejam dan kuminta suamiku membatalkan janji temu bersaama teman-teman. Suamiku mulai khawatir karena demamku yang tak kunjung turun dan aku yang tak terlihat membaik. Kemudian suamiku pun membekamku dengan harapan aku bisa membaik setelah dibekam.

Qadarullah wamaa sya'afa'ala...

Bekam telah selesai, tapi kepalaku rasanya masih berputar hebat dan akupun masih lemas bukan main. Aku masih belum bisa beranjak dari kasur selain untuk solat saja. Hingga malam tiba, suamiku  mencarikanku obat dan makan untuk anak-anak sedangkan aku masih tak berdaya.

Akhirnya, IGD Menyambutku

Long short story, aku yang masih bergelut dengan anakku yang sedang mimisan harus terus berusaha kuat bolak-balik rumah sakit untuk memastikan kondisi anakku baik-baik saja. Hingga akhirnya di hari Rabu, setelah aku sok kuat dengan kondisi badan yang hanya bisa terkapar itu, aku memutuskan untuk ke rumah sakit dan langsung menuju IGD.

Selasa malam, aku sudah mencoba ke IGD, tetapi kondisi IGD yang penuh sungguh membuatku ingin berusaha tetap kuat saja. Namun, apa daya ternyata rasanya antara hidup dan mati. Rabu, aku menuju RS Sarkies dan penuh, lalu ke RS Loekmono Hadi dan penuh juga. Akhirnya kami pasrah dan menuju RS Kartika Husada dan hanya kamar kelas 3 tersedia di sana.

Aku yang sudah pasrah akhirnya  terbaring di kamar IGD. Suntikan infus dan jarum yang digunakan untuk mengambil darah sampel laboratorium pun tak terasa menyakitkan. Demamku yang stabil di 39 derajat lebih itu jauh lebih menyakitkan saat itu. Dokter IGD pun terheran melihat kondisiku yang seperti telat  dibawa ke rumah sakit.

Dokter kira, aku hanya demam. Tapi ternyata, cukup kompleks. Demam yang tinggi, tubuh yang terasa melayang dan menggigil, batuk yang menggigil, napas yang tersengal-engal, perut yang terasa sakit di area lambung dan hati.

Paracetamol dan antibiotik dimasukkan ke tubuhku melalui cairan infus. Perlahan-lahan, demamku turun dan rasa menggigil di tubuhku mulai pudar. Aku mulai didorong di kursi roda dan dipindahkan ke kemar kelas nomor 3.

Aku akhirnya bisa terbaring dengan tenang, meski di kepala yang terpikirkan hanya anak-anak di rumah----yang satu sedang sakit dan yang satunya tipe yang harus dekat dengan orang tuanya. Selama terbaring, aku hanya merenungi mengapa hari ini bisa terjadi. Rasa-rasanya seperti tak mungkin seorang Septi yang terbiasa dengan jam kejar tayangnya terbaring lemah di rumah sakit.

Pasrah dengan Jarum-Jarum Suntik

Di IGD, aku pasrah. Jarum-jarum suntik tak terasa lebih menyakitkan daripada demam dan ngilu di sekujur tubuhku. Aku dengan pandangan yang kabur hanya bisa bersyukur akhirnya ada paracetamol cair yang segera membuat suhu tubuhku turun perlahan dan mengusir dingin yang membuatku menggigil tak karuan.

Setelah dicek oleh dokter IGD, aku dipindahkan ke kamar kelas 3 yang tersedia saking penuhnya kamar di rumah sakit. Aku lalu didorong dengan kursi roda dan diantarkan ke tempat tidurku. Masih nge-fly dan terasa aneh karena ada di rumah sakit. Tapi ternyata, aku beneran sakit hahahahha ~

Hari itu, perawat bolak balik menyuntikkan infus dan paracetamol berkala seolah aku benar-benar butuh penanganan penting. Masih nge-lag, sampai akhirnya dokter IGD bilang bahwa aku terlalu banyak menelan obat dan membuat hatiku sakit. Literally.

19 Comments

  1. Ini bukan sekadar cerita, tapi pengalaman emosional ya kak. Ada rasa panik, takut, tapi juga terselip syukur, cepet sembuh dan sehat selalu kak

    BalasHapus
  2. Pengelaman ku waktu itu sama persis. Tapi agak sedikit horor. Karena ku naik ambulance menemani jenazah....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waktu naik ambulance pun, rasanya kaya jenazah. Bedanya, sendirian...

      Hapus
  3. yang dikhawatirkan buibu adalah sakit ya mba. Seolah bilang kalo kita itu kuat, tapi sering kali abai sama alarm tubuh yang udah minta istirahat. Bener gak? semoga kejadian ini jadi hikmah kedepannya ya mba, agar mba lebih memperhatikan lagi kesehatan. Semangat sehat lagi dan beraktivitas lagi

    BalasHapus
  4. Ya Allah, aku cukup trauma sama yang namanya IGD, udah beberapa kali nganterin anggota keluarga ke IGD yang tentunya karena sakit yang membutuhkan penanganan cepat. Awal baca aku kira sakit karena memaksakan diri naik gunung, ternyata karena kebanyakan konsumsi obat yah mbak, semoga cepat pulih yah mbak.

    BalasHapus
  5. Semoga sekarang sudah sehat kembali yaa.. BTW, jadinya sakit aoa dan apa pemicu awalnya? kelelahan kah?

    BalasHapus
  6. Apapun kelebihan itu tidak baik ya. Apalagi ini makan obat yang berlebih-lebihan
    Wah sudah pasti bahaya itu
    Sehat selalu ya kita semua
    Jaga pola hidup sehat supaya tak lagi naik ambulance
    Kalau bisa naik kendaraan sendiri aja jalan jalan ke mall atau berangkat kerjanya. Hehehe

    BalasHapus
  7. Saya punya pengalaman yang tak akan terlupakan dengan ambulance ini. Saat kakak saya meninggal akibat sakit covid waktu tahun 2021 lalu, kami menyolatkannya di luar mobil ambulance. Jenazah tidak bisa diturunkan dari ambulance karena sudah di dalam peti dan tidak boleh dibuka. Saat sakit pun kami tidak bisa menjenguknya karena pandemi kan. Duuh sedih banget kalau inget saat itu.

    BalasHapus
  8. Gimana keadaannya sekarang, Kak? Semoga baik-baik saja dan sehat seperti sedia kala ya.

    Ngerasa banget pas mau masuk IGD, eh penuh, dan harus cari rumah sakit lainnya agar bisa segera tertangani.

    BalasHapus
  9. Sehat² selalu ya kak.
    Ini jadi pengalaman buat pembaca juga, biar apa² gercep bawa ke faskes

    BalasHapus
  10. Segera baikan ya, Mbak

    Aku sampai sekarang belum pernah naik ambulance, sebaiknya gak usah juga ya kalau emang gak urgent. Soalnya pernah nongkrong di UGD atau IGD saat nemenin Mbah. Banyak banget cerita di sana dalam hitungan menit. Ada yang lahir, ada pula yang meninggal

    BalasHapus
  11. Pas baca ini kok aku sedih ya mbak. Satu sisi sedih karena ibu harus sakit dan satu lagi sedih lihat orang sakit. 😢

    Nggak kebayang gimana paniknya pas semua IGD tuh pada penuh mana harus riwa-riwi RS. Hiks.. 😢

    Apakah dirimu sudah baik-baik saja sekarang? 🥹

    BalasHapus
  12. Terus sekarang keadaannya gimna ka. Smoga lekas pulih sehat kembali ya dan bisa beraktivitas kembali

    BalasHapus
  13. ini bener-bener dar der dor banget sih. gemes iya, kesel iya, pen ngakak juga iya. 2025 emang sehebring itu yak! hahahahahaha

    BalasHapus
  14. Wahh bahaya banget kak kebanyakan konsumsi obat, semoga terus sehat setelahnya yaa
    Aku beberapa kali merasakan naik ambulan, satupun gak ada yang bisa memmbuatku gak trauma
    . Semuanya buruk huhu

    BalasHapus
  15. Ya Allah mbak.. semoga lekas pulih seperti sediakala ya..
    Dulu, Ambulance penuh asosiasi lucu dalam benak karena salah seorang teman SMP sering mengajak naik milik klinik keluarganya sebagai jalan ninja agar tak terlambat ke sekolah. Hoahaha, jangan ditiru.

    Tapi sejak tahun lalu sepupu diantar dari RS ke rumah dengan ambulance dalam keadaan tak bernyawa akibat kecelakaan lalin, setiap melihatnya jadi sedih.

    BalasHapus
  16. Cerita seperti ini bikin tersentuh karena ngingetin kita bahwa momen sulit itu manusiawi, dan penting banget buat ada orang-orang yang mendampingi serta kasih dukungan di saat genting.

    BalasHapus
  17. Doaku semoga cepat pulih kembali ya Mbak. Kadang sakit datang sbg penggugur dosa kita. Tapi ngga papa kita jadi merasakan nikmat saat sehat kembali.

    BalasHapus

Halo!

Terima kasih telah membaca blog www.dwiseptia.com. Semoga konten yang ada di blog ini bisa menginspirasi. Doakan saya bisa produksi konten yang lebih baik, ya!
Oh, ya kalau ada rekues konten silakan tulis di kolom komentar, ya! ^^

Follow Me On Instagram