Cerita Andong: Lebih dari Sekadar Mendaki, Ini Adalah Proses Penemuan Jati Diri

Bagiku, mendaki adalah proses penemuan jati diri.
Tentang siapa kita, seperti apa diri kita dan bagaimana kita jika tengah menjalani sesuatu
- Dwi Septia
Septi - Reza - Anggit

Sudah lama aku tidak melakukan perjalanan yang panjang. Barangkali kalian melihatku melakukan perjalanan, itu hanya kusebut sebagai persinggahan karena di dalamnya aku hanya tahu tempat yang akan dan harus aku tuju, tetapi jarang sekali memikirkan bekal di perjalanan untuk menghadapi setiap kemungkinan-kemungkinan yang mungkin akan datang. Dan kali ini, aku akan menceritakann tentang pendakianku di Gunung Andong, Ngablak, Magelang, Jawa Tengah.

Perjalananku kali ini sama dengan perjalanan-perjalananku yang sebelumnya. Tidak ada rencana matang, pun persiapan pendakian yang mumpuni. Bahkan, perjalanan kali ini hanya berawal dari percakapan di DM Instagram dengan seorang adik kelas, Anggit Indra  yang bahkan aku bertatap muka secara langsung saja belum pernah. Dari membahas tentang tempat kerja, hingga berujung pada pertanyaan "kamu kapan lagi muncak, le?" kepadanya.

Entah memang dia anak gunung atau gabut aku juga kurang paham XD yang jelas kami memutuskan malam itu, Rabu (29/6/17) sekitar pukul 11 malam untuk membuat kesepakatan esok hari. Dan esoknya, Kamis (30/6/17) pukul 07.32 WIB aku langsung kirim pesan WA ke Anggit, "nang, nanti  gas yaah..." dan jawabannya jelas "Okey, mba siap gas tapi prepare seadanya yaa.." Hahahaha kayak nggak ada beban ya jawabnya? Iyak... Ini yang bikin aku suka bergaul sama teman-teman yang fleksibel.

Preparation memang penting, tapi sebaik-baik prepare itu ya prepare mental untuk menghadapi apapun yang terjadi dalam perjalanan.

Pesan Dadakan dari Syahreza yang Membuatku Begitu Bahagia


Ajakan dadakan itu tidak berujung padaku untuk langsung menyiapkan apa yang sekiranya akan aku butuhkan untuk menemani bekal perjalananku. Sepagi itu aku masih harus menyelesaikan laporan-laporanku, aku masih harus nge-gym dan sepulang dari olahraga kecil-kecilan aku masih pergi dengan teman dekatku, Dewi Rosdiana untuk berfoto box sebelum ada sesuatu yang mungkin kelak di masa yang akan datang membuat kami berdua 'berjarak'.

Yes, cukup menyita waktu. Sedari pukul 6 pagi sebelum aku mengirim pesan ke Anggit hingga pukul setengah dua siang aku masih 'ngider' menclok sana sini hahahaha. Hingga ada pesan WA dari temanku yang sudah 3 tahun tak bersua setelah dia menikah, Syahreza Qurania Putri.

"Sep, Prau yok.. Kangen halan-halan..."
Aku seketika yang tengah berada di jalan bersama Dewi seketika melakukan panggilan telepon ke Reza, sapaan akrabnya.
"Za, aku sore ini ke Andong. Kamu belum pernah kan? Ikut yok, bada ashar ini berangkat..."
Andong itu apa?  Di mana? Oke aku prepare, yaaa.
"Gunung Andong, za di Magelang tempatnya nggak sejauh kalau ke Prau.. Aku tunggu di rumah yaa masih inget kann?"
"Inget, sep. Oke nanti aku biar diantar ayah ke rumahmu. Tunggu yaa..."

Sesingkat  itu perencanaan perjalananan kami. Dan aku bahagianya bukan main mendapati temanku yang juga mengenalkan Gunung Merapi dan Sindoro kepadaku itu meneleponu dan mengajakku melakukan perjalanan bersama lagai. Huwaaaa bahagia  yang tidak bisa dideskripsikan pokoknya, deh. Lebih menyenangkan dari sekadar dapat THR. Aku langsung mengabari Anggit dan akhirnya kami memutuskan untuk melakukan perjalanan bertiga.

Perjalanan dengan Persiapan Seadanya


Tidak banyak yang kami bawa, hanya satu set pakaian ganti untuk pulang, alat mandi dan tentu saja jas hujan kalau-kalau nanti hujan. Senter pun Reza nggak kepikiran untuk bawa hahaha parah emang perjalanan kali ini. Dan juga, kami tidak membawa tenda, matras, SB atau semacam-semacamnya. Kami menyewa matras dan SB di basecamp, tanpa tenda. Rencana kami naik dan sampai puncak bikin kopi, lalu turun ke basecamp dan pulang.

Selama perjalanan, kami membeli bekal logistik seperti air dan jajanan untuk dimakan di puncak. Yes, kami tidak membawa bekal apapun untuk kami bawa. Untung ada minimarket yaa, penyelamat untuk kami-kami yang malas prepare daari rumah ini hahah. Dengan bekal 3 liter air mineral, roti tawar dan kacang-kacangan kami mulai packing tas kami sebelum melanjutkan ke basecamp.

Sampai di basecamp sekitar pukul 9 malam, kami bercerita sampai hampir pagi, tidur sebentar dan memulai perjalanan pukul 2.30 pagi. Estimasi perjalanan kami paling lama 3 jam sudah dengan istirahat karena memang Andong terkenal pendek. Dulu aku juga pernah dan memang tergolong dekat, hanya butuh waktu 3 jam sudah dengan istirahat yang sangat-sangat cukup.

Mencoba Jalur Baru yang Berujung Salah Jalur


Kebetulan aku dan Anggit sudah sama-sama pernah naik ke Andong meski lewat jalur yang berbeda. Dan kali ini, kami dibawa oleh seorang anggota kampung ke basecamp dengan jalur Gogik, jalur baru bagi kami. Sambil membawa peta sebelum berangkat, kami, aku terutama mencoba membaca namun ternyata gagal. Kami memilih jalur yang kami anggap jalur memutar di awal.

Butuh waktu hampir 4 jam untuk kami sampai di puncak. Ini karena jalur yang kami tempuh 'salah', terjal untuk ukuran Gunung Andong yang kami anggap cukup landai. Belum lagi, baru naik sekitar setengah jam, perutku sakit bukan main karena memang sudah masuk tanggal si merah. Tiba-tiba saja merasa pusing dan kandung kemih rasanya sakit  sekali. Kami berhenti beberapa kali sampai akhirnya ada pertanyaan "yakin mau lanjut? masih kuat? mumpung masih dekat, kita bisa lho balik ke basecamp..." kata teman-temanku.


Aku merasa malu karena mereka harus melihat ini, tetapi bagaimana lagi perut memang tidak bisa dikondisikan. Akhirnya aku meminta waktu tenggang untuk beristirahat lebih lama dan bernapas lebih panjang sambil menatapi taburan bintang di langit malam yang begitu indah. Andai aku memiliki alat yang bisa menangkap keindahan malam itu. Tuhan memang sempurna, menciptakan mata yang bisa menangkap indahnya warna yang tidak bisa ditangkap dengan kamera seadanya.

Aku beberapa kali mengeluhkan perutku yang tak kunjung membaik. Sampai akhirnya Reza memberiku minyak kayu putih. Dengan sedikit tersengal, kami melanjutkan perjalanan pelan tapi pasti. Satu jam berlalu dan perut masih dengan sakit yang tertahan, tetapi aku tetap tidak mau menyerah. Bagiku, terlalu egois jika aku menyerah dan membuat teman-temanku kecewa karena batal untuk sampai ke puncak. Bukankah ini perjalanan bersama?

Semuanya mulai membaik setelah aku merasakan mual dan ingin muntah. Aku pada akhirnya muntah. Untuk kali keduanya aku muntah di gunung setelah di Gunung Ungaran yang membuat aku trauma. Lega sekali rasanya setelah muntah. Meski masih lambat, aku bisa melanjutkan perjalananku, perlahan tapi pasti. Anggit membantuku membawa tas, super dia bawa tas depan belakang hahaha dan akuuu tanpa tas karena dibilang lambat sama dia. Jahat emang XD




Kami sholat subuh di pendopo yang kami temukan. Ada  yang aneh selama perjalanan kami menuju puncak. Tidak ada rombongan lain yang lewat bersama kami. Sepertinya kami salah jalur hahaha. Sampai akhirnya kami menemukan 1 rombonga lain, kami merasa lega, tetapi sungguh sepertinya kami salah baca jalur dan salah baca peta hahahahha. Yang benar saja sedari tadi kami bersama rombongan lain di basecamp kami hanya naik tanpa tersalip oleh rombongan lain XD Ini konyol sih, pantas saja rasanya ada yang aneh dengan medannya yang super terjal. Lawong ternyata kami ini salah jalur kok wkwkwkw.

Merah Putih Berkibar di Puncak Gunung Andong


Semangat kami hampir hilang ketika puncak tak kunjung kami raih. Reza mulai merangkak karena lututnya mulai pegal. Aku mulai tersengal-sengal lagi. Yang paling cool kali ini cuma Anggit hahaha yaiyalah dia cowok. Eh nggak juga, Reza juga juara bisa anteng dan jalan terus meskipun sempat beberapa kali berteriak untuk minta didorong dari belakang hahah. Lutut-lutut lemah!!!XD 2 tahun adalah waktu yang cukup lama bagi aku dan Reza untuk beradaptasi lagi dengan jalur gunung.


Aku sejenak menatap ke belakang dan melihat matahari yang mulai menampakkan warna emasnya. Kammi memutuskan beristirahat sejenak. Lalu ada banyak pikiran yang berkecamuk dalam diriku tentang perjalanan kali ini:

Bagaimana bila tadi aku menyerah? Apakah aku bisa melihat ciptaan-Nya seindah ini?

Bagaimana perasaan teman-temanku bila sampai aku memutuskan untuk kembali?

Apakah hakikat perjalanan hanya tentang menuju puncak? Nyatanya tidak demikian. Perjalanan adalah tentang komitmen kepada diri sendiri untuk menyelesaikan apa yang telah aku mulai.

Pada akhirnya aku menyadari bahwa dukungan dari orang-orang di sekitarku itulah yang penting. Mereka lah yang berjasa atas segala pencapaian dalam hidupku. Tanpa mereka, aku tidak akan pernah sampai ke tujuan. Lalu, mengapa aku masih saja sombong?

Perjalanan selalu membuatku tahu siapa saja yang mau berjuang dan berjalan beriringan bersama atau justru meninggalkanku yang mulai kehilangan semangat dan mulai terlihat lemah.

Yaa, perjalanan kali ini membuatku sadar bahwa ada begitu banyak hal yang harus aku tanyakan kembali ke pada diriku sendiri terutama tentang "ini perjalanan bersama, jangan egois. jangan berhenti hanya karena aku lelah atau tidak kuat. coba lihat teman-temanmu yang berusaha membantu agar aku tetap bisa sampai ke puncak, bersama-sama.." Aku menyebutnya komitmen terhadap diri sendiri. Komitmen yang sedari awal aku camkan untuk tidak memutuskan sepihak tentang perjalanan kali ini.


Akhirnya, kami meraih puncak. tanpa basa basi kami langsung menggelar matras, meletakkan barang bawaan dan segera Anggit memasak air untuk membuat kopi. Alhamdulillah, lega sekali bisa menikmati udara segar di atas puncak. Ada cerita lucu dalam setiap perjalanan kami kali ini. Reza, satu-satunya dari kami yang telah menikah ini berkali-kali mengecek smartphone-nya untuk melihat apakah ada sinyal atau tidak. Hal ini ia lakukan karena ini harus selalu memberikan kabar kepada suaminya bahwa "everything went well".

Untung saja dia pakai XL, jadi sinyal sampai di kaki gunung masih lancar. Kebetulan pada hari itu suaminya yang tengah berada di rumah Bandung tengah berulang tahun. Jadi, ia berusaha semampunya untuk memberikan momen terbaiknya mengucapkan selamat ulang tahun kepada suami tersayangnya dengan selembar kertas yang diabadikan dengan foto dan video. Jomblo yang tabah ya kalau baca ini hahaha XD


Oh ya, FYI, di Gunung Andong untuk beberapa provider, XL terutama sinyalnya kuat. Jadi, kalau memang mau kasih kabar tentang keadaan kita ke suami, istri atau orang tersayang bisa-bisa saja. Jomblo? yaaaa liatin pemandangan aja yaa daripada lihat notif smartphone jadi tambah sedih hahahaha.

Rok Bukan Jadi Penghalang Untuk Bisa Sampai ke Puncak

Oh ya, kali-kali teman-teman penasaran, kami, aku dan Reza pakai rok selama mendaki. Kami berdua memutuskan untuk tetap memakai rok dan jilbab lebar selama perjalanan. Apa itu mennyulitkan kami? Alhamdulillah tidak karena Allah memudahkan perjalanan kami. Dulu, waktu aku mendaki memakai celana dan melihat mba-mba pakai jilbab syari aku sempat membatin bahwa itu adalah perjalanan yang sulit. Namun, aku paham mengapa mereka melakukan itu pada saat itu.  Mereka belajar untuk taat, tentu saja.

Setelah mengalaminya langsung pun, aku paham bahwa ternyata yang mneyulitkan proses hijrah itu adalah lingkungan kita, stigma-stigma negatif yang kadang melemahkan dan membuat kita ingin menyerah. Terima kasih Reza yang menjadi partnerku pakai rok selama perjalanan. Terima kasih Anggit yang mau menemani mbak-mbak ini sampai ke puncak dengan segala kerempongannya ini, aku terutama.  Terima kasih karena kalian aku bisa menemukan kembali untuk apa seharusnya aku melakukan perjalanan.

Salam,

20 komentar

  1. Keren kamu bisa menaklukan gunung Andong, perjalan kalo bersma2 tapi ada yang egois ya tha tha tha deh...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbaa, support dari temen temen itu mang pentiinnggg banget :D

      Hapus
  2. Kesuksesan emang butuh pengorbanan ya. Setelah sampai di atas bisa melihat pemandangan yang Subhanallah kayak gitu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba ki, jarang banget orang liat proses, bisanya cuma ngejudge hasilnya aja :(

      Hapus
  3. dan aku kepengen banget nyobain naik gunung... lelah jadi bahagia setelah melewati proses yang gak mudah pastinya ya Mba :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba Septi, mantap pokoknya bisa bikin kita bersyukur dan sadar bahwa kita itu kecil, jadi nggak boleh sombong :")

      Hapus
  4. Wah keren bisa menaklukkan gn Andong hehehe..support sih ya yang kerasa penting banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas riswan, apalah aku tanpa teman temanku ini :")

      Hapus
  5. Kontennya keren baget, kali-kali jadi mentor dong mba di Sharing Session Blogger Jakarta.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha jangan membuat besar kepala mas, cuma konten biasa ini mah hehehe

      Hapus
  6. Waaaaaa pengen ke andong juga
    Belum ada waktu huft

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo mas berkabar aja nanti aku ajakin hehehe

      Hapus
  7. Dadah2 dehh kl acara naik gunung haha #pejalansantai pisaan..

    BalasHapus
  8. Dulu aku berpikir pasti menyulitkan langkah bila memakai rok untuk mendaki gunung, ah! ternyata aku salah dan tahu bahwa gak ada yang sulit ketika kita menganggapnya mampu dan mudah seperti halnya cerita Mba. Belum kesampaian jg nih naik gunung, iri lihat kalian yang udah berkali2 turun naik gunung hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe perjuangannya ga gampang mba bisa sampe naik-naik gunung. Birokrasi perijinan susah :D
      Thanks mbaaa hehe

      Hapus
  9. indah fotonya... indah tulisannya ..enjoy

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih ya mas Arkian sudah berkenan mampir hihi

      Hapus
  10. Aku suka ngiri sama anak gunung, aku gak pernah dapet izin buat naek😭 pernah mau ke papandayan garut, H-1 dibatalin grgr orangtua keburu tau😢

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bahahah aku juga mau kesana lho mba, tapi belum tau kapan nih hehe

      Hapus

Halo!

Terima kasih telah membaca blog www.dwiseptia.com. Semoga konten yang ada di blog ini bisa menginspirasi. Doakan saya bisa produksi konten yang lebih baik, ya!
Oh, ya kalau ada rekues konten silakan tulis di kolom komentar, ya! ^^