"aku juga lahir dari rahim mama, mba. Terus kenapa bisa mbak halal dan aku haram?"
Pembuka film Lima terlalu menarik. Bahkan, sebelum aku menonton film ini, salah seorang kawan di Instagram mengirimkan Direct Message kepadaku yang berbunyi: "Sep, lo nonton film Lima, deh. Ada scene yang pas gue lihat, gue keinget sama lo." Kira-kira begitu, katanya.
Aku tertarik, penasaran. Apa yang membuat Lima begitu menarik? Tapi, rasa penasaranku tidak lama. Aku segera menonton dengan kak Kinanti. Impulsif, seperti biasa tiba-tiba saja dari bandara terus pengen nonton aja gitu. Hahahaha
Dan selama beberapa menit disajikan pembuka film Lima, langsung "DAMN!!" Beneran bikin mikir dong filmya. Asem aja baru pertama mulai udah bikin seorang Septi mikir.
Keberagaman Agama dalam Keluarga
Fara, Adi dan Aryo adalah kakak beradik yang tinggal bersama kedua orang tuanya yang berkeyakinan berbeda. Menjadi Fara dan Menjadi Aryo ternyata membuat hubungan mereka rumit. Puncaknya adalah ketika mama mereka meninggal dan mereka harus berdebat tentang cara pemakaman mamanya dengan keyakinan dua agama yang berbeda.
Then, why this story is really related with my life? Some of you may know, but please let me tell you guys again that aku hidup di keluarga dengan agama yang berbeda. Dan ini membuatku kembali berpikir hal yang sama soal pemakaman. Apakah aku akan melalui hal yang sama kelak, atau tidak? Kuharap tidak. Sebab aku ingin semuanya menjadi satu, tanpa perdebatan dan semuanya berjalan dengan lancar.
Sulitnya Menjadi Pribadi dengan Rasa Empati
Aku tidak mengerti bagaimana rasanya menjadi Adi yang bisa diam saja diperlakukan oleh teman-temannya. Ketika temannya berkata "pantesan nyokap lo mati cepet, lo tiap hari nyetel musik itu-itu mulu." Oh, man. Sakit beneran kalo ini bener-bener kejadian di masa sekarang. Mungkin, kalo aku jadi Adi, akan berbeda sikapku ke mereka yang nggak punya rasa empati.
Apa susahnya sih berempati kepada teman yang baru saja kehilangan ibunya? Ditinggal mati lho ini, bukan ditinggal pergi. Apa susahnya mengerti kondisi kehilangan atas seseorang?
Dua Nahkoda dalam Satu Kapal
Aku juga pernah mengalaminya. Mengarungi kapal dengan dua nahkoda di dalamnya. Hasilnya, jangan tanya! Sewaktu kapal oleng dan dalam masa sulit, dua nahkoda yang diharapkan bisa memberikan dua solusi, yang ada malah berkutat dengan masing-masing pikiran dari sang nahkoda. Dan tentu, tidak mungkin dalam satu kapal ada dua keputusan, bukan? Salah satunya tentu akan kalah.
Ego manusia memang tinggi. Selalu ingin menang dari yang lainnya. Dan seringkali, manusia dengan ego yang tak tertahankan mengintimidasi yang lainnya dengan merasa bahwa dirinyalah yang paling superior. Keberagaman pikiran tidak lagi ada. Musyawarah? Apalagi. Semuanya terasa begitu semu dan palsu. Apa-apa yang menurut pikiran baik akan membawa ke pikiran lain bahwa milik orang lain bukan yang terbaik. Entah. Mungkin memang kebebasan berpikir yang dilindungi hanya sebatas dalam undang-undang saja, bukan dalam pelaksanaan.
Pribumi dan non pribumi masih menjadi masalah yang serius di Indonesia. Perbedaan RAS, suku, agama, budaya masih menjadi momok yang tidak ada habisnya. Ketika syarat untuk menjadi wakil Indonesia harus warga asli, sedangkan jelas keturunan lain punya kemampuan lebih membuat saya mengiyakan ketika Fara bilang "pantes aja Indonesia nggak maju-maju."
I know that memang kalau kita ingin mempertahankan Indonesia dengan putra-putri kita. But, can we just being an objective person? Kemampuan untuk mewakili Indonesia di mata dunia itu bukan perkara sempit. Yang hanya untuk nampang saja. Tapi memang untuk pulang dengan membawa juara, membawa nama Indonesia di kancah dunia.
And what I learnt from this movie is, masih ada orang-orang yang baik, masih ada orang jujur, masih ada orang obyektif yang mau melihat permasalahan seperti ini menjadi masalah yang perlu dipertimbangkan. Hingga akhirnya, berkat memperjuangkan kejujuran dan keadilan, Fara bisa membawa putra pribumi dan non pribumi untuk mewakili Indonesia.
Seriously, ini film mikir banget. Quite simple buat made us being a stupid person kalau kita nggak mau mikirin setiap detailnya. Sedari awal aku masih bertanya-tanya mengapa bioskop sepi. Aku jadi ingat ketika sedang menonton film Istirahatlah Kata-kata.
Baca Juga: Istirahatlah Kata-Kata, Dokumentasi Sejarah yang Penuh dengan Makna
Film ini juga peminatnya hanya orang-orang yang memang cinta dengan dunia sastra. Sebab memang pesan moral yang disampaikan berat. Dan orang memang menonton film untuk mencari hiburan. Tapi entah, aku bersyukur masih bisa melihat dunia dari film-film seperti ini. Aku jadi bisa membuka mata dan hati sedikit lebih lebar untuk bisa menyadari bahwa dunia itu luas. Dunia itu memiliki banyak sisi yang tak kita tahu.
Masih ingat dengan kisah nenek yang harus dibawa ke meja hijau hanya karena mengambil biji kakao? Film lima kembali merangkum kisah ini. Dan kembali, disajikan dengan jelas bahwa hukum selalu membuat pelaku yang tidak mampu merasa dirinya semakin hina. Sedangkan mereka yang punya kekuasaan akan dengan otomatis menang, mereka akan secara otomatis memiliki kuasa penuh atas hidup orang lain yang punya kemampuan di bawahnya.
Miris. Pantas aja Indonesia nggak maju-maju. Lawong hukumnmya saja begitu ya, to?
Semoga semakin banyak film Indonesia yang bisa membuka mata penikmat film tentang luasnya dunia dan luasnya manusia yang tak terbatas.
Salam,
Ego manusia memang tinggi. Selalu ingin menang dari yang lainnya. Dan seringkali, manusia dengan ego yang tak tertahankan mengintimidasi yang lainnya dengan merasa bahwa dirinyalah yang paling superior. Keberagaman pikiran tidak lagi ada. Musyawarah? Apalagi. Semuanya terasa begitu semu dan palsu. Apa-apa yang menurut pikiran baik akan membawa ke pikiran lain bahwa milik orang lain bukan yang terbaik. Entah. Mungkin memang kebebasan berpikir yang dilindungi hanya sebatas dalam undang-undang saja, bukan dalam pelaksanaan.
RAS Masih Menjadi Masalah yang Serius di Indonesia
Pribumi dan non pribumi masih menjadi masalah yang serius di Indonesia. Perbedaan RAS, suku, agama, budaya masih menjadi momok yang tidak ada habisnya. Ketika syarat untuk menjadi wakil Indonesia harus warga asli, sedangkan jelas keturunan lain punya kemampuan lebih membuat saya mengiyakan ketika Fara bilang "pantes aja Indonesia nggak maju-maju."
I know that memang kalau kita ingin mempertahankan Indonesia dengan putra-putri kita. But, can we just being an objective person? Kemampuan untuk mewakili Indonesia di mata dunia itu bukan perkara sempit. Yang hanya untuk nampang saja. Tapi memang untuk pulang dengan membawa juara, membawa nama Indonesia di kancah dunia.
And what I learnt from this movie is, masih ada orang-orang yang baik, masih ada orang jujur, masih ada orang obyektif yang mau melihat permasalahan seperti ini menjadi masalah yang perlu dipertimbangkan. Hingga akhirnya, berkat memperjuangkan kejujuran dan keadilan, Fara bisa membawa putra pribumi dan non pribumi untuk mewakili Indonesia.
Seriously, ini film mikir banget. Quite simple buat made us being a stupid person kalau kita nggak mau mikirin setiap detailnya. Sedari awal aku masih bertanya-tanya mengapa bioskop sepi. Aku jadi ingat ketika sedang menonton film Istirahatlah Kata-kata.
Baca Juga: Istirahatlah Kata-Kata, Dokumentasi Sejarah yang Penuh dengan Makna
Film ini juga peminatnya hanya orang-orang yang memang cinta dengan dunia sastra. Sebab memang pesan moral yang disampaikan berat. Dan orang memang menonton film untuk mencari hiburan. Tapi entah, aku bersyukur masih bisa melihat dunia dari film-film seperti ini. Aku jadi bisa membuka mata dan hati sedikit lebih lebar untuk bisa menyadari bahwa dunia itu luas. Dunia itu memiliki banyak sisi yang tak kita tahu.
Hukum Hanya Berlaku Bagi Rakyat Tidak Mampu
Masih ingat dengan kisah nenek yang harus dibawa ke meja hijau hanya karena mengambil biji kakao? Film lima kembali merangkum kisah ini. Dan kembali, disajikan dengan jelas bahwa hukum selalu membuat pelaku yang tidak mampu merasa dirinya semakin hina. Sedangkan mereka yang punya kekuasaan akan dengan otomatis menang, mereka akan secara otomatis memiliki kuasa penuh atas hidup orang lain yang punya kemampuan di bawahnya.
Miris. Pantas aja Indonesia nggak maju-maju. Lawong hukumnmya saja begitu ya, to?
Semoga semakin banyak film Indonesia yang bisa membuka mata penikmat film tentang luasnya dunia dan luasnya manusia yang tak terbatas.
Salam,